Lo masih inget nggak sih, dulu janji-janji manis soal metaverse? Kerja di virtual office, meeting pake avatar, konser virtual yang epic. Tapi kenyataannya? Sekarang malah kayak kerja rodi. Harus ngurus tanah digital, jualan NFT, datengin meeting corporate di dunia virtual. Lah, bukannya main game, malah kayak kerja part-time kedua.
Gue nanya serius: kapan terakhir kali lo main game beneran buat fun, bukan buat grind atau ngejar profit?
Dari “Kantor Virtual” Kembali ke “Taman Bermain”
Itu dia masalahnya. Metaverse collapse itu sebenernya bukan collapse teknologinya, tapi collapse harapan. Gamers pada capek. Capek diminta buat “hidup” di dalam dunia yang isinya kewajiban dan ekonomi kompleks.
Makanya sekarang, ada gelombang balik yang gue sebut The Great Escape. Orang-orang pada kabur dari “kantor virtual” metaverse yang melelahkan, balik lagi ke game standalone yang sederhana. Game yang nggak nagih buat lo login tiap hari. Game yang selesai ya udah. Itu namanya pelarian gamers yang sehat.
Tiga Game yang Jadi Bukti Kalo “Fun” Itu Udah Pulang Kampung
-
“Stardew Valley 2” – Simulator Ketengan Jiwa. Ini game yang nggak maksa lo apa-apa. Mau lo tanam wortel seharian, atau cuma duduk di tepi sungai virtual sambil mancing, terserah. Nggak ada notifikasi “Daily Quest belum diklaim!”. Nggak ada pressure buat beli skin limited edition. Bandingin sama metaverse yang nawarin “VIP Virtual Lounge” dengan harga 0.5 ETH. Mana yang bikin lo senyum-senyum sendiri?
-
“Hades II” – Roguelike yang Memuaskan Rasa Penasaran. Lo mati, ulang lagi. Tapi setiap run itu berbeda, dan lo merasa semakin jago. Progress-nya jelas: skill lo sebagai player. Bukan level karakter lo yang harus lo grind berbulan-bulan. Dalam 30 menit lo udah dapet kepuasan yang jelas. Sebuah survei informal di forum gamer (fictional) nemuin 72% responden bilang mereka “merasa lebih dihargai sebagai pemain” oleh game seperti ini daripada game “live service” yang isinya battle pass.
-
“The Last of Us Part III” – Cerita yang Bikin Nangis dan Puas. Ini adalah anti-tesis dari metaverse yang tanpa ujung. Game-nya punya awal, tengah, dan akhir yang powerful. Lo main, terharu, selesai, lalu bisa move on. Itu adalah kemewahan yang nggak bisa dibeli di dunia metaverse yang nggak berujung. Lo bayar sekali, dapet pengalaman lengkap. Bukan langganan bulanan buat akses konten yang belum kelar-kelar.
Tapi Jangan Salah, Balik ke Standalone pun Ada Jebakannya
Jangan dikira semua game standalone itu suci.
-
Mistake #1: Asal Beli Game “Indie” tanpa Riset. Sekarang label “indie” dan “standalone” jadi jualan juga. Banyak yang cuma asset flip atau game setengah jadi. Lo tetep harus liat review, gameplay trailernya, jangan cuma tergiur tagline “kembali ke kesederhanaan”.
-
Mistake #2: Nyampurin Konsep “Sederhana” dengan “Konten Sedikit”. Ada game yang memang desainnya sederhana dan elegant. Tapi ada juga yang… kosong. Riset dulu, berapa lama kira-kira durasi mainnya. Jangan sampe lo beli game “sederhana” dengan harga premium, tapi 3 jam udah tamat dan nggak ada reason buat replay.
-
Mistake #3: Ikut-ikutan Nge-bash Semua Game Online. Hanya karena lo capek sama metaverse, bukan berarti semua game multiplayer atau live service itu jelek. Tetap ada yang bagus, seperti Deep Rock Galactic atau FFXIV yang komunitasnya sehat. Jangan jadi fanatik sebaliknya.
Gimana Caranya Nemuin Game yang Bener-bener Bikin Fun Lagi?
Udah capek sama grind? Ini caranya reset selera lo.
-
Cari Game yang “Respect Your Time”. Ciri-cirinya: nggak ada FOMO (Fear Of Missing Out), bisa disave dan diquit kapan aja, dan progresnya nggak hilang kalo lo libur seminggu. Itu game yang ngehargai lo sebagai manusia, bukan sebagai data point.
-
Jelajahi Genre yang Dulu Lo Gak Pernah Sentuh. Lo biasanya main FPS competitive? Coba main game puzzle seperti “The Witness” atau game narrative seperti “What Remains of Edith Finch”. Mengalami jenis kesenangan yang berbeda bisa nge-refresh rasa jenuh lo.
-
Mainkan Satu Game Sampai Tamat, Sebelum Beli yang Baru. Salah satu sumber kecemasan gamers sekarang adalah backlog yang menumpuk. Fokusin satu game. Nikmatin ceritanya. Baru pindah. Rasain lagi nikmatnya “menyelesaikan” sesuatu, bukan sekadar “mengkonsumsi”.
Kesimpulan: Sebuah Pemberontakan yang Damai
Jadi, metaverse collapse ini sebenarnya adalah koreksi pasar yang sehat. Sebuah pemberontakan diam-diam dari para gamers yang bilang, “Cukup sudah.”
Kita lagi melakukan pelarian gamers massal dari dunia yang janjinya kebebasan, tapi ujung-ujungnya jadi penjara produktivitas lainnya. Kita balik ke game standalone bukan karena teknologinya ketinggalan jaman, tapi karena dia mengingatkan kita pada esensi utama kenapa kita main game dari dulu: untuk bersenang-senang.
Untuk merasa seperti di taman bermain digital, bukan di kantor kedua. Dan perasaan itu, ternyata, jauh lebih berharga daripada semua NFT dan virtual real estate di dunia.
